ZahraNews — Hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat memasuki babak baru. Dalam pertemuan bilateral yang digelar di Jakarta, pemerintah kedua negara menandatangani Kesepakatan Perdagangan Komprehensif (Comprehensive Trade Agreement/CTA) yang disebut sebagai salah satu pencapaian dagang terbesar antara dua negara demokrasi terbesar di dunia ini.
Dalam kesepakatan yang diumumkan secara resmi oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan perwakilan dagang Amerika Serikat, Katherine Tai, 99% barang Amerika Serikat kini dapat masuk ke pasar Indonesia tanpa tarif, sementara barang ekspor Indonesia ke AS hanya dikenakan tarif maksimal 19%, turun drastis dari batas sebelumnya yang mencapai 32%.
Apa Saja Isi Kesepakatan Ini?
Kesepakatan ini mencakup beberapa poin utama:
- Penghapusan Tarif
Produk-produk asal Amerika Serikat seperti pangan olahan, daging sapi, jagung GMO, pesawat Boeing, alat kesehatan, hingga perangkat AI dan semikonduktor akan bebas masuk ke Indonesia. - Penurunan Tarif Ekspor Indonesia
Produk seperti kopi, cokelat, tekstil, sepatu, komponen kendaraan listrik, dan nikel olahan akan mendapat akses pasar AS yang lebih luas dengan tarif ekspor yang lebih rendah. - Reformasi Non-Tarif
Indonesia berkomitmen menyederhanakan proses perizinan ekspor-impor, reformasi logistik pelabuhan, dan harmonisasi standar produk dengan AS. - Kemitraan Strategis Teknologi dan Energi
Kedua negara akan mendorong kerja sama strategis dalam pengembangan energi terbarukan, AI, dan logistik berbasis digital.
Dampak bagi Ekonomi Indonesia
Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan, menilai kesepakatan ini sebagai langkah visioner.
“Ini bukan hanya membuka pasar, tapi juga memperkuat citra Indonesia sebagai mitra dagang yang kredibel dan modern,” ujarnya dalam konferensi pers.
Menurut data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke AS tahun 2024 mencapai USD 27,6 miliar, menjadikan AS mitra dagang terbesar ketiga Indonesia. Dengan kesepakatan baru ini, angka tersebut diprediksi bisa naik hingga USD 35 miliar pada 2026.
Sektor-sektor yang diprediksi paling diuntungkan antara lain:
- Industri tekstil dan alas kaki
- Produk agrikultur unggulan (kopi, cokelat, rempah)
- Mineral strategis seperti nikel dan bauksit
- UMKM digital yang menjual produk ke Amazon & eBay
🇺🇸 Kepentingan Amerika di Asia Tenggara
Bagi Amerika Serikat, kesepakatan ini adalah bagian dari strategi Indo-Pasifik yang lebih luas. Di tengah meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok, Washington melihat Indonesia sebagai poros ekonomi Asia Tenggara yang penting untuk stabilitas dan rantai pasok global.
Presiden AS dalam pernyataan resminya menyebut Indonesia sebagai mitra utama dalam “membangun ekonomi global yang adil, terbuka, dan demokratis.”
Peluang Besar, Tapi Tidak Tanpa Risiko
Meski membawa angin segar, banyak kalangan menilai kesepakatan ini sebagai pedang bermata dua.
1. Potensi Serbuan Produk Impor Murah
Dengan tarif nol persen, produk-produk pangan, alat kesehatan, dan barang teknologi dari AS bisa membanjiri pasar lokal dan menggerus UMKM dan produsen kecil.
2. Masalah Infrastruktur dan SDM
Indonesia masih memiliki tantangan logistik, pelabuhan, dan tenaga kerja terampil. Jika tidak diatasi, pengusaha lokal bisa kesulitan memenuhi standar ekspor AS.
3. Risiko Ketergantungan Ekonomi
Beberapa pakar khawatir Indonesia bisa terjebak dalam hubungan dagang yang timpang. Jika tidak ada kontrol, Indonesia akan menjadi pasar konsumen, bukan produsen global.
Kata Pakar: Bukan Sekadar Angka
Ekonom senior Universitas Indonesia, Dr. Maria Santosa, menyatakan:
“Tarif rendah saja tidak cukup. Kita butuh strategi industri, insentif produksi, dan pemberdayaan UMKM. Kalau tidak, kita hanya jadi penonton dalam pasar global yang semakin agresif.”
Momentum yang Harus Dimanfaatkan
Kesepakatan dagang AS–Indonesia ini bukan hanya soal ekspor dan impor. Ini adalah pengakuan bahwa Indonesia siap naik kelas dalam panggung ekonomi global. Namun, keberhasilan nyata hanya akan terjadi jika pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat benar-benar mempersiapkan diri secara serius.
Jika dijalankan dengan hati-hati dan cerdas, perjanjian ini bisa menjadi titik balik Indonesia menuju negara industri maju — bukan hanya sebagai eksportir bahan mentah, tapi sebagai produsen bernilai tambah tinggi.